Sabtu, 11 Maret 2017

Konsep Afinitas, Tradhisi, dan pengaruh  Sastra Bandingan

A. Hakikat Sastra Bandingan
Sastra bandingan adalah kajian yang membandingkan sebuah karya sastra untuk mendapatkan perbedaan persamaan dalam sebuah karya sastra. Sastra bandingan merupakan salah satu pendekatan yang ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh Sante-Beuve dalam sebuah artikelnya. Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhanya terhadap pendekatan perbandingan terdapat pada jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun 1921.
Sastra bandingan mempunyai dua mazhab, yaitu mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika mengemukakan bahwa sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut bersepakat bahwa sastra bandingan harus bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan sastra satu negara dengan sastra negara lain.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, muncul kritikan terhadap pandangan yang dianut oleh kedua mazhab. Kedua mazhab sepertinya tidak memperhatikan kondisi sebagian besar negara Asia yang memiliki keragaman bahasa dan budaya. Indonesia, misalnya, satu suku dengan suku yang lain. membandingkan antara sastra Jawa dengan sastra Sunda merupakan kajian sastra bandingan. Begitu juga halnya dengan membandingkan antara sastra daerah, misalnya sastra Minang dengan sastra Indonesia merupakan kajian sastra bandingan. Berbeda dengan dengan pendapat Damono, yang menyatakan bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan hanya mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa yang mempuyai bahasa yang berbeda, tetapi sastra bandingan lebih merupakan suatu metode untuk pendekatan sastra suatu bangsa saja. Jadi sastra bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antar bangsa atau dua bahasa dan pengarang ternama saja, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya antar pengarang, antar genetik atau tema, antar zaman, antar bentuk, dan antar tokoh. Dalam sastra bandingan menurut Hutomo yaitu sebagai berikut.            
1.      Afinitas, yaitu keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra, misalnya unsur struktur, gaya, tema, mood (suasana yang terkandung dalam karya sastra) dan lain-lain, yang dijadikan bahan pelisan karya sastra.
2.      Tradisi, yaitu unsur yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya sastra.
3.      Pengaruh, istilah pengaruh, sebenarnya, tidak sama dengan menjimplak, plagiat, karena istilah ini sarat dengan nada negatif.

Konsep Penjabaran Afinitas, Tradisi Dan Pengaruh

1.      Konsep Afinitas dalam Sastra Bandingan
Pada umunya jika kita melihat praktek sastra bandingan, baik di negara Barat maupun negara Timur, menurut Endraswara studi sastra bandingan itu melandaskan diri pada afinitas, tradisi, dan pengaruh. Afinitas diberi makna “hubungan yang terwujud karena adanya perkawinan” dalam ilmu bahasa diartikan “unsur-unsur sama pada dua atau beberapa bahasa karena bahasa itu diturunkan dari suatu bahasa leluhur yang sama dan dalam ilmu biologi mengandung makna hubungan antara jenis-jenis atau kelompok-kelompok lebih tinggi yang didasarkan kemiripan dalam seluruh rencana strukturnya dan mengacu kesamaan unsurnya. Dengan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa afinitas diungkapkan dengan cara membandingkan kedua karya sastra dengan teori intertekstual. Dari afinitas itu dapat diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan diantara tema, karakter, tokoh, konflik batin dan sebagainya.
a.      Teori intertekstualitas
Secara luas, interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Secara etimologis berasal dari bahasa Latin, textus berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan Ratna dan Endraswara menyatakan, studi intertekstualitas mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat. Jadi, studi intertekstual merupakan studi yang mempelajari hubungan atau keterjalinan atara teks yang satu dengan teks lainnya untuk mengemukakan unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalam.
Suatu teks baru muncul didasari pada teks-teks yang mendahuluinya. Teks-teks terdahulu dapat dikatakan sebagai hipogram (hypogram). Hipogram dapat berupa ide, gagasan, wawasan, dan lain sebagainya yang terdapat dalam teks-teks terdahulu. Hipogram inilah yang menjadi konsep penting dalam teori interteks, terutama dalam mengungkap afinitas dua buah karya sastra.
2.      Tradisi
yaitu unsur yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya sastra. Banyak karya sastra yang bersumber dari tradisi lisan ( Damono). Clements mengatakan bahwa puisi epik berkembang sedkit demi sedikit dari tingkatan folklor lisan kearah puisi tertulis yang sangat canggih. Seperti karya Homerus, Odysseus. Tidak hanya dinegara eropa negara indonesia semua jenis puisi dari tingkatan yang sederhana sampai yang paling canggih bisa ditemukan. Bila mmasyarakat bisa mengekspresikan diri dalam tulisan , yang dilakukan tidak hanya mengandalkan imajinasi atau daya khayal pengarang saja, melainkankan bisa memanfaatkan tradisi lisan sebagai bahan untuk mengembangkan kreatitivas pengarang. Damono menceritakan mengenai drama-drama klasik seperti Oedipus Rex dan Electra diciptakan berdasar dongeng yang beredar dimasyarakat. Kisah anak laki-laki yang bernama Oedipus yang membunuh ayahnya dan menikahi ibu kandunganya sendiri. Sedangkan tokoh Electra yang menggambarkan folklore lisan kearah puisi tertulis yang sangat canggih. Seperti karya Homerus, Odysseus. Tidak hanya dinegara eropa negara indonesipun semua jenis puisi dari tingkatan yang sederhana sampai yang paling canggih bisa ditemukan. Bila masyarakat bisa mengekspresikan diri dalam tulisan, yang dilakukan tidak hanya menganalkan imajinasi atau daya khayal pengarang saja, melainkan bisa memanfaatkan tradisi lisan sebagai bahan untuk drama-drama klasik seperti Oedepus Rex dan Electra diciptakan berdasar dongeng yang berada dimasyarakat. Kisah anak laki-laki yang bernama oedepus yang membunuh ayahnya dan menikahi ibu kandungnya sendiri sedangkan tokok electra yang menggambarkan bagaimana anak perempuan membenci ibunya dan jatuh cinta kepada ayahnya. Cerita-cerita semacam itu bisa didapatkan dibanyak kebuayaan.
3.      Pengaruh dalam Sastra Bandingan.
Kajian bandingan merupakan kajian antara dua karya sastra yang dibatasi oleh beberapa ketentuan seperti negara, bangsa, dan bahasa. Salah satu titik terpenting dalam kajian sastra bandingan adalah pengaruh. Menurut Saman kajian pengaruh dalam kesusastraan bandingan melakukan kerja membandingkan bahasa bacaan antara yang sedang dihadapi dengan segala bacaan yang telah silam. Dengan demikian, kajian pengaruh dalam sastra bandingan harus membandingkan dua karya sastra atau lebih dengan kurun waktu penulisan dan penerbitan dalam tenggang waktu yang cukup lama. Studi pengaruh dalam sastra bandingan tidak dapat membandingkan dua karya sastra dalam waktu penciptaan dan penerbitan dengan waktu yang sama. 
Menurut Mahayana kajian pengaruh yang mempengaruhi dunia sastra merupakan hal yang wajar. Adanya kesamaan tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya sastra, mungkin hanya akibat pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya yang lain. Tetapi dengan ini tidak harus mutlak demikian. Boleh jadi kesamaan itu suatu kebetulan saja. Dan kemunculannya pun bisa pada saat yang bersamaan atau dalam kurun waktu yang berbeda. Dengan demikian, bisa jadi terjadi kemiripan antara karya sastra di suatu negara dan karya sastra di negara lain. kemiripan tersebut bisa dikaji dengan kajian sastra bandingan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mahayana yang menyatakan bahwa membandingkan dua karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, dalam studi sastra, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. 
Pengaruh di dalam sastra bandingan termasuk ke dalam kajian dengan menggunakan pendekatan genetik. Lubis membagi pendekatan genetik ke dalam lima aspek, yaitu: (1) Pengaruh (2) Saduran (Adaptasi) (3) Jiplakan (Plagiat) (4) Peniruan (Imitasi) dan (5) Terjemahan.
Di antara kelima aspek itu yang agak sulit dipisahkan yaitu antara peniruan dan pengaruh. Untuk menilai suatu karya sastra meniru atau mendapatkan pengaruh sebenarnya yang paling tahu adalah pengarangnya sendiri, karena batas antara peniruan dan pengaruh adalah unsur kesengajaan dan ketidaksengajaan. Peniruan dilakukan dengan sengaja, sedangkan pengaruh dilakukan secara tidak sengaja. Namun, jarang pengarang yang secara jujur mengakui bahwa karya ciptaannya meniru atau terpengaruh. 
Menurut Blok kajian pengaruh merupakan kajian yang penting dalam sastra bandingan. Blok mengatakan bahwa pengaruh dapat diuraikan menjadi beberapa bagian, di antaranya: (1) merupakan bagian dari seni atau kreatifitas seni, menggunakan masa silam sebagai inspirasi; (2) faktor hubungan dan keterkaitan pengarang dengan pengarang; (3) sesuatu yang tidak disengaja; (4) merupakan sumber proses penciptaan; dan (5) merupakan interaksi estetik, dan tidak mudah dilihat dengan mata kasar. 
Pengaruh menurut Hosilos tidak langsung terlihat dalam karya seorang pengarang, karena jalinannya yang halus ke dalam bentuk, stail, tema, dan unsur seni. Untuk karya-karya pengarang yang belum dapat menghasilkan mutu karangan yang baik, pengaruh cenderung sebagai peniruan, dan mempunyai banyak kemiripan pada karya yang di tiru. 
     Menurut Kasiyun pengaruh berbeda dengan peniruan. Pengaruh adalah kesan yang ditangkap seseorang tentang adanya keterkaitan suatu karya dengan karya lain dari pengarang atau penyair yang berbeda. Sedangkan peniruan adalah mengambil suatu karya sastra sebagai contoh (model) untuk mencipta karya yang lain. Hutomo menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori intertekstualitas. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks la
in.
Kajian konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra bandingan. Keterpengaruhan ini jelas akan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: (a) perkembangan karir pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya pengarang.
Pengarang yang secara langsung dan tampak sekali terpengaruh sumber asli biasanya disebut transmitter. Ia terpengaruh secara langsung oleh karya sebelumnya. Pengaruh semacam ini, kemungkinan memang disengaja. Berbeda dengan pengaruh tak langsung dan tak disengaja, sering disebut intermediary. Ia hanya mengambil karya orang lain melalui mediasi atau perantara.
Carre dan Guyard mengemukakan (Remak) bahwa kajian bandingan pengaruh dianggap kurang meyakinkan, sebaliknya perbandingan lebih baik diarahkan ke persoalan penerimaan, perantaraan, perjalanan pengarang, dan sikap seorang pengarang terhadap sebuah sebuah negara pada masa tertentu.
           



Selasa, 07 Oktober 2014

Geguritan

Tresnaku

( Dening Muhamad Rozzaqi - )

Dudu ayu sing ana ing pasuryanmu
Dudu apa wae sing pedhes ana ing ilatmu
Nanging iku kabeh sejatine atimu
Ati sing gelem ngrasaake rasaku
Ati ingkang kaparing saking sapa sing menehi abange lombok

Dudu bola sing mbok sandang gawe badhan mu
Dudu lembu lan mahesa sing cacahe sewu
Lan manggon ana ing kandangmu
Nanging sugih pangapura
Lan sugih ilmu sing manggon ana atimu

Duh biyung . . .
Apa aku pantes nduweni cah ayu iku
Apa aku isa menehi katentraman kang suci
Senajan aku iki bocah angon wedhus
Bocah kang adoh saka kilatane endahing donya

Tapi sliramu dhik, sliramu sing ngongkon aku
Supaya aku isa sotya ana ing atimu
Lan sliramu menehi semangat marang aku
Semangat babagan tresnaku marang sliramu
Mung sliramu sing ana ing atiku

Senin, 29 September 2014

Geguritan Basa Jawa

Budaya
( M. Rozzaqi )

Tung tak,, Tung dor,,
Sapa sing tau krungu swara iku
Swara kang adoh saka kuping
Mlayu ngetan ,, Mlayu ngulon,, Pada ilang parane

Tung tak,, Tung dor,,
Budhal ing ngendising mbok karepake
Mung sadela kowe mergawe
Tinabuh kendang wis ora ana sing nyandak

Jaranan,, Jaranan,,
Kowe iki warisan budaya
Tapi sapa,, sapa sing gelem nunggang jaranane
Sapa sing gelem nyandak kendangane

Opo iki sing jenenge jaman edan
Jaman sing pada lali karo budaya
Budaya kesenian, budaya tata krama
Opo iki sing mbok karepake

Iki mung salah sawijining budaya
Yen kowe kabeh wong jawa
Mula ya kudu pada ngerti
Ngerti budaya, ngerti tata krama
lan isa nglestareake budayane,,

Selasa, 27 Mei 2014

"Nang banyu urip numpak o kapal
 Nang banyu wangi mampir surabaya"
           "mumpung jek urip ayo podo amal"
           "ojo lali panyembah marang seng kuoso"

Itulah sebangaian cuplikan dari sebagian jula juli yang ditampilkan oleh rekan - rekan SMAN 1 Jombang di pentas festifal ludruk tignkat jawa timur yang menyabet sebagai gelar 5 penyaji terbaik selama 2 pementasan.
masa sekarang ini adalah masa yang penuh dengan style yang mengandung unsur dunia barat akan tetapi mu di kemanakan aset budaya asli kita ini. Apakah hanya menjadi pajangan belaka ?? atau hanya menjadi barang antik yang idak di pakai saja. perlu adanya kesadaran masing - masing dalam masalah yang seperti ini. budaya seni memang identik dengan unsur kreatifita, keindahan dan keselarasan tetapi semua itu bisa di pelajari dengan hati yang bersih. meskpun orang tersebut sulit untuk mengembangkan kreatifitasnya dan rasa  keindahan dari jiwanya semua itu akan muncul dengan sendirinya apabila ada syarat ini d lakukan, yaitu "  ojo isin / jangan malu " . mengapa kita harus malu dengan suatu yang mulia yaitu melestarikan budaya kita sendiri.
 Tidak tahukah anda bahwa di negara lain sudah mempelajari berbagai kesenian yang berada di negara kita ini. jangan sampai seperti peristiwa kemarin tantang reog ponorogo kawan - kawan. okee kalau memang kta tida bisa mengukuti atau melaksanakan dalam peran elestarian budaya langkah minimal yang paling tept menurut saya sukailah dulu atau cintailah dulu seperti sering -sering lah menonton budaya " kita di mulai dari kesenian tempat kita tinggal. Memang kesenian kita terkesan tradisional sekali namun dalam inti dari kesenian tersebut pasti ada nilai kehidupan yang ingin disampaikan kepada penonton yang melihatnya
Rasakan dengan penuh penjiwaan dengan hati yang nyaman ..


" pak saikan ketimpa tangga "
" cukup sekian pendapat saya " :)

Jumat, 09 November 2012

KESENIAN JARANAN

Dsn KEMAMBANG DIWEK JOMBANG
Kesenian tradisional jaran dor sudah ada di Jombang sejak masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1925 berdirilah grup jaran dor di Desa Kemambang, Diwek, beranggotakan 14 orang. Saat ini, dari sejumlah itu, hanya tersisa satu, yaitu Yasmo (usia 106 tahun) warga Desa Jatirejo Barat.

Jaran dor merupakan kesenian tradisional Kuda Lumping asli Jombang. Perbedaan yang kentara dengan jaranan lain dan menjadi ciri khasnya adalah alat musik jidor yang saat ditabuh berbunyi dor, sehingga jaranan ini di sebut jaran dor. Adapun alat musik selain jidor adalah kendang dan sepasang kimplung yang terdiri dari tiga biji dengan ukuran berbeda. Satu yang berukuran besar di sebut thong, dan yang kecil disebut ketipung. Sekarang, alat musik jaran dor di tambah gong peking saron ketuk kenong atau biasa di sebut dengan gamelan.
Jaran dor ditampilkan dengan beberapa tari pengiring, yang sekarang ditambah dengan tari bantengan. Urutan penampilannya adalah tari bapangan, tari jaranan khas Jombang, tari topeng atau tari humor, tari jepaplok dan ditutup dengan tari bantengan.
Tari Bapangan
Dulu tari bapangan di sebut tari pentulan, karena topeng yang di pakai penari berhidung sangat besar, mentul, bermata bulat dengan rambut, alis dan kumis menjuntai ke bawah yang terbuat dari surai buntut sapi.
Tari Jaranan Khas Jombang
Tari jaran dor lebih mengarah untuk kesenangan atau hobi, tidak seperti jaranan lain seperti semboyo yang memang sengaja dirancang untuk pementasan dengan kemasan cukup rapi. Sehingga penampilan para penari jaran dor terkesan apa adanya dan gerak para penarinya pun tidak seperti jaranan lain. Tari jaran dor banyak dipengaruhi oleh pencak silat, karena kebanyakan para penari jaranan adalah pendekar silat.
Penari jaran dor dulu hanya lelaki, tidak seperti sekarang yang ditampilkan oleh penari lelaki dan perempuan, berkaos belang horisontal warna merah putih atau merah hitam, dilapisi baju warna hitam lengan panjang, celana pendek berpleret merah, berkopyah dengan sarung diikatkan pinggang, tanpa gongseng atau kerincingan kaki seperti pada penari semboyo. Saat ini pakaian penari banyak berubah, tergantung selera grup jaranan masing-masing.
Kuda Lumping yang digunakan dalam jaran dor berbeda dengan kudalumping yang digunakan dalam semboyo. Ekor kudalumping jaran dor berbentuk melengkung sedangkan semboyo berujung lancip. Penari kudalumping membawa panthek: sebilah potongan bambu dengan panjang sekisar satu meter. Saat ini penari membawa cambuk, adapula yang sudah dari dulu membawa cambuk. Mulanya tari jaranan hanya diiringi musik dari kendang, kimplung dan jidor, tanpa iringan gendhing-lagu, selanjutnya diiringi gendhing Ijo-ijo dan Suwe Ora Jamu. Saat ini banyak jaran dor diiringi lagu dangdut dan campur sari.
Tari Jepaplok
Disebut tari jepaplok karena mulut dari kepala hewan, terbuat dari kayu, yang mirip dengan kepala naga ini bisa membuka menutup seperti hendak mencaplok. Di bagian belakang terdapat kayu pegangan yang digunakan untuk mengendalikannya. Satu pegangan dipangkal rahang dan yang satu lagi menyatu dengan bagian atas. Pangkal pertemuan kepala dan rahang ini terdapat engsel yang memungkinkan rahang digerakkan naik turun seperti handak mencaplok dan menghasilkan bunyi plok-plok. Kepala hewan ini diikatkan pada kepala, kedua tangan penari menahan dan mengendalikannya. Dari dulu sampai sekarang nama dan bentuk jepaplokan tetap sama.
Tari Bantengan
Mulanya tidak ada bantengan dalam jaran dor, sekarang tari bantengan ditampilkan untuk menutup pertunjukan di mana penari menari dengan topeng kepala banteng.
Tukang Gambuh
Puncak penampilan semua penari di atas ada di tangan tukang gambuh atau yang dikenal dengan pawang. Sebelum tampil pawang harus membakar perapen atau kemenyan untuk mendatangkan perewangan. Pawang berdoa agar saat menampilkan perewangan jangan sampai ada gangguan. Pawang mendampingi penari beraksi dengang membawa cambuk yang berfungsi untuk memasukkan perewangan ke dalam diri penari juga untuk memulihkan kesadaran. Jumlah pawang dalam setiap pertunjukan biasanya bisa mencapai empat orang. Seorang pawang harus mampu seni bela diri dan memiliki keahlian tersendiri yang didapat dengan tirakat.
Saat ndadi (kesurupan), penari akan menuruti semua perintah pawang, dan seorang pawang mampu membaca seberapa besar kemampuan penari untuk ndadi, karena saat ndadi sudah menyangkut keselamatan penari juga para penonton. Sandingan khas yang di makan penari jaran dor maupun tari lainnya adalah dedak. Adapula bunga, rumput, dan pisang. Penari memakan barang berbahaya seperti beling, jika sebelumnya telah diminta penanggap.
Sesaji jaran dor ini seperti tikar baru dari pandan, sisir, kipas, beras, pisang satu tangkep (dua sisir), tampah, dedak, minyak wangi, beras kuning, kelapa utuh, ayam, dawet, kemenyan, kluwek, bumbu-bumbu dapur, dan masih banyak lagi. Jika kelengkapan sesaji tidak terpenuhi, maka akan sangat mengkhawatirkan penampilan jaran dor, khususnya saat ndadi.
Jaran dor saat ini banyak mengalami perubahan, baik alat musik, pakaian maupun tarinya. Ini terjadi karena ada kecenderungan permintaan masyarakat untuk menampilkan jaranan beserta musik dangdut dan campur sari. Sehinggan banyak mucul jaranan campur sari versi Jombangan yang berpengaruh pula pada penambahan alat musik seperti drum, keyboard, dan simbal.
Selain Yasmo di atas, beberapa orang yang masih bersetia dalam pelestarian seni jaran dor ini adalah Harjo Suyitno (pimpinan grup kudalumping Bunga Sejati, Mojowangi, Mojowarno), Subur (pawang grup kudalumping Turonggo Pudak Arum Pandanwangi, Desa Kwaron), Karsiadi atau Mbah Kempong (Pimpinan grup kudalumping Turonggo Cahaya Muda, di Sukomulyo, Blimbing, Gudo).