Kesenian tradisional
jaran dor sudah ada di Jombang sejak masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1925
berdirilah grup jaran dor di Desa Kemambang, Diwek, beranggotakan 14 orang.
Saat ini, dari sejumlah itu, hanya tersisa satu, yaitu Yasmo (usia 106 tahun)
warga Desa Jatirejo Barat.
Jaran dor merupakan kesenian
tradisional Kuda Lumping asli Jombang. Perbedaan yang kentara dengan jaranan
lain dan menjadi ciri khasnya adalah alat musik jidor yang saat ditabuh berbunyi
dor, sehingga jaranan ini di sebut jaran dor. Adapun alat musik
selain jidor adalah kendang dan sepasang kimplung yang terdiri dari tiga biji
dengan ukuran berbeda. Satu yang berukuran besar di sebut thong, dan
yang kecil disebut ketipung. Sekarang, alat musik jaran dor di tambah gong
peking saron ketuk kenong atau biasa di sebut dengan gamelan.
Jaran dor ditampilkan dengan beberapa
tari pengiring, yang sekarang ditambah dengan tari bantengan. Urutan
penampilannya adalah tari bapangan, tari jaranan khas Jombang, tari topeng atau
tari humor, tari jepaplok dan ditutup dengan tari bantengan.
Tari
Bapangan
Dulu tari bapangan di sebut tari
pentulan, karena topeng yang di pakai penari berhidung sangat besar, mentul,
bermata bulat dengan rambut, alis dan kumis menjuntai ke bawah yang terbuat
dari surai buntut sapi.
Tari
Jaranan Khas Jombang
Tari jaran dor lebih mengarah untuk
kesenangan atau hobi, tidak seperti jaranan lain seperti semboyo yang memang
sengaja dirancang untuk pementasan dengan kemasan cukup rapi. Sehingga
penampilan para penari jaran dor terkesan apa adanya dan gerak para penarinya
pun tidak seperti jaranan lain. Tari jaran dor banyak dipengaruhi oleh pencak
silat, karena kebanyakan para penari jaranan adalah pendekar silat.
Penari jaran dor dulu hanya lelaki,
tidak seperti sekarang yang ditampilkan oleh penari lelaki dan perempuan,
berkaos belang horisontal warna merah putih atau merah hitam, dilapisi baju
warna hitam lengan panjang, celana pendek berpleret merah, berkopyah dengan
sarung diikatkan pinggang, tanpa gongseng atau kerincingan kaki seperti
pada penari semboyo. Saat ini pakaian penari banyak berubah, tergantung selera
grup jaranan masing-masing.
Kuda Lumping yang digunakan dalam jaran
dor berbeda dengan kudalumping yang digunakan dalam semboyo. Ekor kudalumping
jaran dor berbentuk melengkung sedangkan semboyo berujung lancip. Penari
kudalumping membawa panthek: sebilah potongan bambu dengan panjang
sekisar satu meter. Saat ini penari membawa cambuk, adapula yang sudah dari
dulu membawa cambuk. Mulanya tari jaranan hanya diiringi musik dari kendang,
kimplung dan jidor, tanpa iringan gendhing-lagu, selanjutnya diiringi gendhing Ijo-ijo
dan Suwe Ora Jamu. Saat ini banyak jaran dor diiringi lagu dangdut dan
campur sari.
Tari
Jepaplok
Disebut tari jepaplok karena mulut dari
kepala hewan, terbuat dari kayu, yang mirip dengan kepala naga ini bisa membuka
menutup seperti hendak mencaplok. Di bagian belakang terdapat kayu pegangan
yang digunakan untuk mengendalikannya. Satu pegangan dipangkal rahang dan yang
satu lagi menyatu dengan bagian atas. Pangkal pertemuan kepala dan rahang ini
terdapat engsel yang memungkinkan rahang digerakkan naik turun seperti handak
mencaplok dan menghasilkan bunyi plok-plok. Kepala hewan ini diikatkan
pada kepala, kedua tangan penari menahan dan mengendalikannya. Dari dulu sampai
sekarang nama dan bentuk jepaplokan tetap sama.
Tari
Bantengan
Mulanya tidak ada bantengan dalam jaran
dor, sekarang tari bantengan ditampilkan untuk menutup pertunjukan di mana
penari menari dengan topeng kepala banteng.
Tukang
Gambuh
Puncak penampilan semua penari di atas
ada di tangan tukang gambuh atau yang dikenal dengan pawang. Sebelum
tampil pawang harus membakar perapen atau kemenyan untuk mendatangkan perewangan.
Pawang berdoa agar saat menampilkan perewangan jangan sampai ada gangguan.
Pawang mendampingi penari beraksi dengang membawa cambuk yang berfungsi untuk
memasukkan perewangan ke dalam diri penari juga untuk memulihkan kesadaran.
Jumlah pawang dalam setiap pertunjukan biasanya bisa mencapai empat orang.
Seorang pawang harus mampu seni bela diri dan memiliki keahlian tersendiri yang
didapat dengan tirakat.
Saat ndadi (kesurupan), penari
akan menuruti semua perintah pawang, dan seorang pawang mampu membaca seberapa
besar kemampuan penari untuk ndadi, karena saat ndadi sudah menyangkut
keselamatan penari juga para penonton. Sandingan khas yang di makan penari
jaran dor maupun tari lainnya adalah dedak. Adapula bunga, rumput, dan
pisang. Penari memakan barang berbahaya seperti beling, jika sebelumnya
telah diminta penanggap.
Sesaji jaran dor ini seperti tikar baru
dari pandan, sisir, kipas, beras, pisang satu tangkep (dua sisir), tampah,
dedak, minyak wangi, beras kuning, kelapa utuh, ayam, dawet, kemenyan, kluwek,
bumbu-bumbu dapur, dan masih banyak lagi. Jika kelengkapan sesaji tidak
terpenuhi, maka akan sangat mengkhawatirkan penampilan jaran dor, khususnya
saat ndadi.
Jaran dor saat ini banyak mengalami
perubahan, baik alat musik, pakaian maupun tarinya. Ini terjadi karena ada
kecenderungan permintaan masyarakat untuk menampilkan jaranan beserta musik
dangdut dan campur sari. Sehinggan banyak mucul jaranan campur sari versi
Jombangan yang berpengaruh pula pada penambahan alat musik seperti drum,
keyboard, dan simbal.
Selain Yasmo di atas, beberapa orang
yang masih bersetia dalam pelestarian seni jaran dor ini adalah Harjo Suyitno
(pimpinan grup kudalumping Bunga Sejati, Mojowangi, Mojowarno), Subur (pawang
grup kudalumping Turonggo Pudak Arum Pandanwangi, Desa Kwaron), Karsiadi atau
Mbah Kempong (Pimpinan grup kudalumping Turonggo Cahaya Muda, di Sukomulyo,
Blimbing, Gudo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar