Konsep
Afinitas, Tradhisi, dan pengaruh Sastra
Bandingan
A.
Hakikat Sastra Bandingan
Sastra bandingan adalah kajian yang
membandingkan sebuah karya sastra untuk mendapatkan perbedaan persamaan dalam
sebuah karya sastra. Sastra bandingan merupakan salah satu pendekatan yang ada
dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa
awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh Sante-Beuve dalam
sebuah artikelnya. Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad
ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhanya
terhadap pendekatan perbandingan terdapat pada jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun
1921.
Sastra bandingan mempunyai dua
mazhab, yaitu mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika mengemukakan bahwa
sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan
bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan
lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat bahwa sastra bandingan hanya
memperbandingkan sastra dengan sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut
bersepakat bahwa sastra bandingan harus bersifat lintas negara, artinya
berusaha membandingkan sastra satu negara dengan sastra negara lain.
Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan, muncul kritikan terhadap pandangan yang dianut oleh kedua mazhab.
Kedua mazhab sepertinya tidak memperhatikan kondisi sebagian besar negara Asia
yang memiliki keragaman bahasa dan budaya. Indonesia, misalnya, satu suku
dengan suku yang lain. membandingkan antara sastra Jawa dengan sastra Sunda
merupakan kajian sastra bandingan. Begitu juga halnya dengan membandingkan
antara sastra daerah, misalnya sastra Minang dengan sastra Indonesia merupakan
kajian sastra bandingan. Berbeda dengan dengan pendapat Damono, yang menyatakan
bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan hanya
mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa yang mempuyai bahasa
yang berbeda, tetapi sastra bandingan lebih merupakan suatu metode untuk
pendekatan sastra suatu bangsa saja. Jadi sastra bandingan tersebut menunjukkan
bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada sastra antar bangsa atau dua
bahasa dan pengarang ternama saja, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya
antar pengarang, antar genetik atau tema, antar zaman, antar bentuk, dan antar
tokoh. Dalam sastra bandingan menurut Hutomo yaitu sebagai berikut.
1. Afinitas,
yaitu keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra, misalnya
unsur struktur, gaya, tema, mood (suasana yang terkandung dalam karya sastra) dan lain-lain,
yang dijadikan bahan pelisan karya sastra.
2. Tradisi,
yaitu unsur yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya sastra.
3. Pengaruh,
istilah pengaruh, sebenarnya, tidak sama dengan menjimplak, plagiat, karena
istilah ini sarat dengan nada negatif.
Konsep Penjabaran Afinitas, Tradisi
Dan Pengaruh
1. Konsep
Afinitas dalam Sastra Bandingan
Pada umunya jika kita melihat praktek
sastra bandingan, baik di negara Barat maupun negara Timur, menurut Endraswara studi sastra bandingan itu melandaskan diri pada afinitas, tradisi, dan
pengaruh. Afinitas diberi makna “hubungan yang terwujud karena adanya
perkawinan” dalam ilmu bahasa diartikan “unsur-unsur sama pada dua atau
beberapa bahasa karena bahasa itu diturunkan dari suatu bahasa leluhur yang
sama dan dalam ilmu biologi mengandung makna hubungan antara jenis-jenis atau
kelompok-kelompok lebih tinggi yang didasarkan kemiripan dalam seluruh rencana
strukturnya dan mengacu kesamaan unsurnya. Dengan pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa bahwa afinitas diungkapkan dengan cara membandingkan kedua
karya sastra dengan teori intertekstual. Dari afinitas itu dapat diketahui
bahwa terdapat persamaan dan perbedaan diantara tema, karakter, tokoh, konflik
batin dan sebagainya.
a. Teori
intertekstualitas
Secara luas, interteks diartikan sebagai jaringan
hubungan antara satu teks dengan teks lain. Secara etimologis berasal dari
bahasa Latin, textus berarti tenunan, anyaman, penggabungan,
susunan, dan jalinan Ratna dan Endraswara menyatakan,
studi intertekstualitas mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan
ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat. Jadi,
studi intertekstual merupakan studi yang mempelajari hubungan atau keterjalinan
atara teks yang satu dengan teks lainnya untuk mengemukakan unsur-unsur dan
makna yang terkandung di dalam.
Suatu teks baru muncul didasari pada teks-teks yang
mendahuluinya. Teks-teks terdahulu dapat dikatakan sebagai hipogram (hypogram).
Hipogram dapat berupa ide, gagasan, wawasan, dan lain sebagainya yang terdapat
dalam teks-teks terdahulu. Hipogram inilah yang menjadi konsep penting dalam
teori interteks, terutama dalam mengungkap afinitas dua buah karya sastra.
2.
Tradisi
yaitu unsur yang berkaitan dengan
kesejarahan penciptaan karya sastra. Banyak karya sastra yang bersumber dari
tradisi lisan ( Damono). Clements mengatakan
bahwa puisi epik berkembang sedkit demi sedikit dari tingkatan folklor lisan
kearah puisi tertulis yang sangat canggih. Seperti karya Homerus, Odysseus.
Tidak hanya dinegara eropa negara indonesia semua jenis puisi dari tingkatan
yang sederhana sampai yang paling canggih bisa ditemukan. Bila mmasyarakat bisa
mengekspresikan diri dalam tulisan , yang dilakukan tidak hanya mengandalkan
imajinasi atau daya khayal pengarang saja, melainkankan bisa memanfaatkan
tradisi lisan sebagai bahan untuk mengembangkan kreatitivas pengarang. Damono menceritakan mengenai drama-drama klasik seperti Oedipus Rex dan
Electra diciptakan berdasar dongeng yang beredar dimasyarakat. Kisah anak
laki-laki yang bernama Oedipus yang membunuh ayahnya dan menikahi ibu
kandunganya sendiri. Sedangkan tokoh Electra yang menggambarkan folklore lisan
kearah puisi tertulis yang sangat canggih. Seperti karya Homerus, Odysseus.
Tidak hanya dinegara eropa negara indonesipun semua jenis puisi dari tingkatan
yang sederhana sampai yang paling canggih bisa ditemukan. Bila masyarakat bisa
mengekspresikan diri dalam tulisan, yang dilakukan tidak hanya menganalkan
imajinasi atau daya khayal pengarang saja, melainkan bisa memanfaatkan tradisi
lisan sebagai bahan untuk drama-drama klasik seperti Oedepus Rex dan Electra
diciptakan berdasar dongeng yang berada dimasyarakat. Kisah anak laki-laki yang
bernama oedepus yang membunuh ayahnya dan menikahi ibu kandungnya sendiri
sedangkan tokok electra yang menggambarkan bagaimana anak perempuan membenci
ibunya dan jatuh cinta kepada ayahnya. Cerita-cerita semacam itu bisa
didapatkan dibanyak kebuayaan.
3. Pengaruh
dalam Sastra Bandingan.
Kajian
bandingan merupakan kajian antara dua karya sastra yang dibatasi oleh beberapa
ketentuan seperti negara, bangsa, dan bahasa. Salah satu titik terpenting dalam
kajian sastra bandingan adalah pengaruh. Menurut Saman kajian
pengaruh dalam kesusastraan bandingan melakukan kerja membandingkan bahasa
bacaan antara yang sedang dihadapi dengan segala bacaan yang telah silam.
Dengan demikian, kajian pengaruh dalam sastra bandingan harus membandingkan dua
karya sastra atau lebih dengan kurun waktu penulisan dan penerbitan dalam
tenggang waktu yang cukup lama. Studi pengaruh dalam sastra bandingan tidak
dapat membandingkan dua karya sastra dalam waktu penciptaan dan penerbitan dengan
waktu yang sama.
Menurut
Mahayana kajian pengaruh yang mempengaruhi dunia sastra merupakan
hal yang wajar. Adanya kesamaan tema, gaya, maupun bentuk pada dua karya
sastra, mungkin hanya akibat pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya
yang lain. Tetapi dengan ini tidak harus mutlak demikian. Boleh jadi kesamaan
itu suatu kebetulan saja. Dan kemunculannya pun bisa pada saat yang bersamaan
atau dalam kurun waktu yang berbeda. Dengan demikian, bisa jadi terjadi
kemiripan antara karya sastra di suatu negara dan karya sastra di negara lain.
kemiripan tersebut bisa dikaji dengan kajian sastra bandingan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Mahayana yang menyatakan bahwa membandingkan dua
karya sastra atau lebih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, dalam studi
sastra, termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan.
Pengaruh di
dalam sastra bandingan termasuk ke dalam kajian dengan menggunakan pendekatan
genetik. Lubis membagi pendekatan genetik ke dalam lima aspek,
yaitu: (1) Pengaruh (2) Saduran (Adaptasi) (3) Jiplakan (Plagiat) (4) Peniruan
(Imitasi) dan (5) Terjemahan.
Di antara
kelima aspek itu yang agak sulit dipisahkan yaitu antara peniruan dan pengaruh.
Untuk menilai suatu karya sastra meniru atau mendapatkan pengaruh sebenarnya
yang paling tahu adalah pengarangnya sendiri, karena batas antara peniruan dan
pengaruh adalah unsur kesengajaan dan ketidaksengajaan. Peniruan dilakukan
dengan sengaja, sedangkan pengaruh dilakukan secara tidak sengaja. Namun,
jarang pengarang yang secara jujur mengakui bahwa karya ciptaannya meniru atau
terpengaruh.
Menurut Blok kajian pengaruh merupakan kajian yang penting dalam
sastra bandingan. Blok mengatakan bahwa pengaruh dapat diuraikan menjadi
beberapa bagian, di antaranya: (1) merupakan bagian dari seni atau kreatifitas
seni, menggunakan masa silam sebagai inspirasi; (2) faktor hubungan dan
keterkaitan pengarang dengan pengarang; (3) sesuatu yang tidak disengaja; (4)
merupakan sumber proses penciptaan; dan (5) merupakan interaksi estetik, dan
tidak mudah dilihat dengan mata kasar.
Pengaruh menurut Hosilos tidak langsung terlihat dalam karya seorang pengarang, karena jalinannya yang halus ke dalam bentuk, stail, tema, dan unsur seni. Untuk karya-karya pengarang yang belum dapat menghasilkan mutu karangan yang baik, pengaruh cenderung sebagai peniruan, dan mempunyai banyak kemiripan pada karya yang di tiru.
Menurut Kasiyun pengaruh berbeda dengan peniruan. Pengaruh adalah kesan yang ditangkap seseorang tentang adanya keterkaitan suatu karya dengan karya lain dari pengarang atau penyair yang berbeda. Sedangkan peniruan adalah mengambil suatu karya sastra sebagai contoh (model) untuk mencipta karya yang lain. Hutomo menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori intertekstualitas. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks lain.
Pengaruh menurut Hosilos tidak langsung terlihat dalam karya seorang pengarang, karena jalinannya yang halus ke dalam bentuk, stail, tema, dan unsur seni. Untuk karya-karya pengarang yang belum dapat menghasilkan mutu karangan yang baik, pengaruh cenderung sebagai peniruan, dan mempunyai banyak kemiripan pada karya yang di tiru.
Menurut Kasiyun pengaruh berbeda dengan peniruan. Pengaruh adalah kesan yang ditangkap seseorang tentang adanya keterkaitan suatu karya dengan karya lain dari pengarang atau penyair yang berbeda. Sedangkan peniruan adalah mengambil suatu karya sastra sebagai contoh (model) untuk mencipta karya yang lain. Hutomo menyatakan bahwa untuk studi pengaruh perlu memahami teori intertekstualitas. Karya sastra menyimpan berbagai teks di dalamnya, atau merupakan serapan/hasil transformasi dari teks lain.
Kajian
konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra bandingan. Keterpengaruhan
ini jelas akan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain: (a) perkembangan
karir pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya
pengarang.
Pengarang
yang secara langsung dan tampak sekali terpengaruh sumber asli biasanya disebut
transmitter. Ia terpengaruh secara langsung oleh karya sebelumnya. Pengaruh
semacam ini, kemungkinan memang disengaja. Berbeda dengan pengaruh tak langsung
dan tak disengaja, sering disebut intermediary. Ia hanya mengambil karya orang
lain melalui mediasi atau perantara.
Carre
dan Guyard mengemukakan (Remak) bahwa kajian bandingan pengaruh
dianggap kurang meyakinkan, sebaliknya perbandingan lebih baik diarahkan ke
persoalan penerimaan, perantaraan, perjalanan pengarang, dan sikap seorang pengarang
terhadap sebuah sebuah negara pada masa tertentu.